PERDAGANGAN MANUSIA BERKEDOK PENGIRIMAN TENAGA KERJA DI NUSA TENGGARA TIMUR

Artikel ini ditulis oleh tiga orang akademisi Program S2 Studi Pembangunan, kecuali pada bagian perbaruan data jumlah korban perdagangan manusia di tahun 2022, data diambil dari Narasi TV.

Masalah perdagangan manusia di Nusa Tenggara Timur (NTT) belum selesai. Setiap tahun NTT selalu dihadapkan dengan masalah kemanusiaan ini, bahkan NTT merupakan daerah dengan kasus perdagangan manusia terbanyak di Indonesia. Banyaknya kasus perdagangan manusia berkedok pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) atau yang sekarang juga disebut pekerja migran Indonesia mengindikasikan adanya tindak pidana perdagangan orang oleh mafia berjejaring.

Menurut artikel yang dipublikasikan di tahun 2018 ini, terdapat 1.3 juta TKI yang berada di luar negeri. Dari jumlah itu, setiap tahun terdapat 19 ribu TKI dideportasi ke daerah asal karena tidak memiliki dokumen resmi. Pada tahun 2014, dari 1021 orang yang ditangani pihak berwajib, sebanyak 605 diduga merupakan korban perdagangan manusia. Pada tahun 2015, dari 1004 orang yang ditangani, 468 orang terindikasi sebagai korban perdagangan manusia. Dan pada tahun 2016, terdapat 54 jenazah TKI yang diterima di terminal cargo El Tari, Kupang, salah satu kabupaten di NTT, dimana peti jenazah dikirim dengan Alamat palsu. Kita juga tahu, data terbaru dari Narasi TV, secara rata-rata, ada 2 jenazah yang tiba di NTT setiap harinya yang merupakan korban perdagangan manusia.

Perdagangan manusia merupakan bentuk perbudakan modern yang timbul akibat rusaknya nilai moral, spiritual, mental, dan karakter manusia. Pada umumnya, korban dijanjikan pekerjaan menarik sebagai penjaga toko atau asisten rumah tangga, tetapi kemudian dipaksa ke dalam pekerjaan yang menyiksa, pekerja anak, penari, penghibur, bahkan prostitusi, bahkan, ada juga penjualan bayi atau korban yang dibunuh untuk diambil organ tubuhnya.

Terdapat dua kategori tindak pidana untuk kasus pengiriman TKI, yaitu Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) atau human trafficking dan Tindak Pidana Penyelundupan Orang (TPPM) atau people smuggling. Perbedaan antara TPPO dan TPPM terletak pada cara dan tujuan, serta konsekuensi hukuman yang diterima. Pelaku TPPO menggunakan cara kekerasan, paksaan, penculikan, penyekapan dan sebagainya, sedangkan pelaku TPPM tidak menggunakan kekerasan atau paksaan. Keuntungan yang diperoleh pelaku TPPO berasal dari eksploitasi korban sedangkan keuntungan yang diperoleh pelaku TPPM berasal dari kesepakatan antara pelaku dan korban penyelundupan. Konsekuensi hukum dari pelaku TPPO adalah sesuai Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2007 yaitu hukuman penjara minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun, serta denda minimal Rp 120 juta dan maksimal Rp 600 juta. Konsekuensi hukum dari pelaku TPPM sesuai Pasal 120 ayat 1 UU Nomor 6 Tahun 2011 adalah penjara paling lama 2 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200 juta.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top