Kehidupan Petani Rumput Laut di Sulawesi Selatan, Indonesia

Artikel ini merangkum Bab 12, Kehidupan Petani Rumput Laut di Indonesia, dari sebuah e-book berjudul Tropical Phyconomy Coalition Development: Focus on Eucheumatoid Seaweeds. Para penulis mengumpulkan data primer dengan mensurvei 273 petani rumput laut di Sulawesi Selatan, provinsi penghasil rumput laut terbesar di Indonesia yang memasok sekitar 20% dari kebutuhan global rumput laut untuk diolah menjadi karagenan, yang masing-masing mewakili 32% dan 74% petani Laikang dan Pitu Sunggu. Spesies rumput laut yang paling umum dibudidayakan adalah cottonii dan sacol, yang dibudidayakan dengan metode longline. Metode ini melibatkan pengikatan bibit rumput laut pada tali, masing-masing sepanjang 25m dan 40m di Pitu Sunggu dan Laikang. Para petani membutuhkan pelampung untuk menjaga tali dan rumput laut tetap mengapung, jadi mereka biasanya menggunakan botol plastik sekali pakai dan Styrofoam. Namun, pelampung ini secara perlahan akan melepaskan nanoplastik ke ekosistem laut dan sampahnya setelah tidak digunakan, akan mencemari pantai. Pelampung yang ramah lingkungan, ringan, murah, mudah diangkut, dan memiliki daya apung yang dapat disesuaikan, sangat dibutuhkan.

Kedua spesies rumput laut, cottonii dan sacol, menghasilkan kappa-karragenan dan harganya sama, tetapi cottonii lebih menyukai musim hujan, sementara sacol lebih menyukai musim kemarau. Rata-rata produksi rumput laut tahunan di Laikang dan Pitu Sunggu masing-masing adalah 1,63 dan 1,66 ton per rumah tangga, nilai ini jauh lebih sedikit dari yang optimal. Beberapa kelompok petani juga membudidayakan spinosum, dengan siklus yang lebih pendek (20 hari).

Mengikat bibit rumput laut merupakan tahapan kerja yang paling memakan waktu dan harus diselesaikan dalam satu hari agar rumput laut dapat dibudidayakan di laut pada hari yang sama. Sekelompok lima orang yang bekerja selama 6 jam diperkirakan hanya dapat menyelesaikan 30 longlines. Semua orang, termasuk orang tua, penyandang disabilitas, wanita hamil, ibu menyusui, dan orang yang tidak terampil dapat melakukan pekerjaan ini.

Petani rumput laut rentan terhadap perubahan iklim. Produktivitas rumput laut bervariasi karena iklim. Cuaca buruk menyebabkan bukan hanya penurunan produktivitas, tetapi juga kerugian bagi para petani. Di Pitu Sunggu, setelah 3 hari hujan, seorang petani melaporkan bahwa dia telah menanam rumput laut sebanyak 300 tali panjang, tetapi rumput laut membusuk dan rugi 50%, yaitu sekitar IDR 10 juta, belum termasuk upah pekerja yang bekerja untuk mengikat bibit yang belum dibayarkan ke pekerja. Petani lain yang telah menanam 1200 longlines yang berusia 1 bulan melaporkan kerugian sebesar IDR 50 juta. Delapan puluh persen petani rumput laut membutuhkan kredit tanpa jaminan dari para pedagang, tetapi para petani harus menjual rumput laut tersebut kepada pedagang tersebut. Pedagang tidak mengenakan bunga, tetapi rumput laut dari petani yang berhutang dibayar 3-9% lebih rendah daripada dari petani tanpa hutang. Namun, pengurangan harga ini tidak mengurangi jumlah pinjaman.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top